Jakarta, CNN Indonesia

Salah satu buruh perempuan Pekerja Rumah Tangga (PRT), Siti Muslihah (55), memprotes Pemerintah yang hingga saat ini tak kunjung mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).

Muslihah mengaku selama bekerja lebih dari 25 tahun ini selalu berada dalam bayang-bayang kekerasan verbal, fisik hingga seksual.

Harus pula menghadapi segala bayang-bayang kekerasan itu tanpa adanya perlindungan hukum dari negara.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Dengan tanpa disahkannya RUU PPRT kita semakin tertindas dengan jam kerja yang sangat panjang dengan kekerasan dan masih banyak lagi yang kami alami sebagai PRT,” kata Muslihah ketika berbincang dengan CNNIndonesia.com usai melakukan aksi May Day, di Kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Rabu (1/5).

Muslihah bercerita selama ini para PRT tak berdaya di hadapan para pemberi kerja atau majikan. Mereka terpaksa menerima tindakan majikan yang semena-mena.

Ia mengaku kerap kali mendapatkan perlakuan semena-mena seperti jam kerja yang berlebih hingga bekerja tanpa hari libur dari pemberi kerja.

Hal itu, kata dia, terjadi akibat tidak adanya payung hukum yang disediakan oleh pemerintah untuk para PRT.

“Ya, karena kita belum bisa mendapatkan payung hukum sebagai PRT. Dan tanpa adanya RUU PPRT mereka pemberi kerja banyak semena-mena memberikan jam kerja, tidak adanya hari libur dan masih banyak kekerasan-kekerasan yang mereka lakukan terhadap pekerjanya,” jelas dia.

“Masih banyak [upah] yang di bawah UMR. Itu sangat meresahkan dan itu tidak mencukupi untuk kebutuhan kami,” sambungnya.

Imbas tak ada perlindungan hukum tersebut, Muslihah mengungkap masih banyak PRT yang bekerja sebatas kontrak verbal dengan para pemberi kerja.

Hal itu pun memperparah potensi PHK sepihak dari para pemberi kerja terhadap para PRT.

Keadaan itu pun dibenarkan oleh PRT lain Winaningsih (41) yang sekaligus sebagai aktivis bidang kampanye di Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT).

Winaningsih menyebut banyak para PRT yang di PHK tanpa alasan yang jelas. Ia pun menyebut pemberi kerja yang mencari kesalahan PRT untuk mem-PHK marak terjadi.

“Intinya kalau majikan mau PHK PRT yaitu cari letak kesalahan PRT. Intinya di situ,” ujar dia.

“PRT itu diam tidak berdaya karena ya itu tidak ada perlindungan hukum yang pasti untuk PRT,” sambungnya.

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah tak lagi menunda pengesahan RUU PRT. Hal itu, kata dia, agar para PRT tak lagi memiliki nasib yang terombang-ambing.

“Tanpa payung hukum nasib kita akan terbengkalai seterusnya, harapan kita RUU segera disahkan,” tutur dia.

RUU PPRT hingga kini masih mandek. Pertama kali didorong untuk dibahas sejak 2004, tetapi hingga hari ini tidak kunjung jelas pembahasan dan pengesahannya.

Sejak 2004, RUU PPRT bolak-balik ke luar-masuk dari daftar Prolegnas DPR RI. Selama 19 tahun para PRT menunggu payung hukum yang melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan, penyiksaan, dan perbudakan modern yang terjadi saat ini.

JALA PRT mencatat 1.635 kasus multikekerasan terhadap PRT yang berakibat fatal selama 2017-2022. Selain itu, terdapat 2.021 kasus kekerasan fisik dan psikis serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi.

PRT juga termasuk ke dalam bagian dari korban-korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Data Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyatakan total aduan kasus perdagangan yang ditangani SBMI sejak 2012 sampai 2020 adalah 2.597 kasus.

Dari jumlah tersebut, PRT merupakan korban perdagangan orang tertinggi yakni sebesar 58,5 persen (1.519 kasus).

(mab/bmw)





Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *